Bagi Hendarto Wibowo, pengusaha berusia 40 tahun, unsur klenik merupakan hal yang dapat diandalkan menuju kesuksesan hidup. Untuk mengelola bisnis pariwisata dan perhotelan yang dimilikinya, sudah puluhan tahun ini Hendarto menggunakan jasa paranormal. Tak dinyana, paranormal pribadinya justru menikmati sensasi seksual bersama istrinya.

Siang itu Hendarto membawa mbah Bromo, paranormal berusia 60 tahun, untuk membersihkan rumahnya dari kemungkinan gangguan pesaing bisnisnya. Sudah tiga tahun ini ritual bersih rumah dilakukan Mbah Bromo tiap enam bulan sekali di rumah Hendarto. Prosesinya antara lain memercik air bunga ke tiap sudut ruangan di dalam rumah Hendarto. Biasanya dilakukan sejak siang hari hingga menjelang malam.
“Maaf mbah mungkin kali ini saya tidak bisa mengikuti ritual ini sampai selesai, karena saya
harus keluar kota untuk kepentingan perusahaan. Tapi istri saya akan tetap di sini membantu mbah sampai ritual selesai,” kata Hendarto di tengah jalannya prosesi ritual.

“Oh begitu. Ya ndak apa pak Hen, ditinggal saja biar saya selesaikan tugas saya. Lagi pula
pembersihan di ruang tamu dan kamar kerja pak Hen sudah selesai, nanti biar di ruangan lainnya
saya teruskan sendiri. Ndak usah suruh nyonya membantu, biar saya kerjakan sendiri,” kata mbah Bromo.

“Eh.. jangan mbah, biar istri saya membantu ya,” kata Hendarto lagi. Ia kemudian memanggil Irma, istrinya di ruang keluarga.

Irma berusia 30 tahun, berwajah ayu, kulit putih, dan tubuhnya sintal. Selama melakukan ritual di rumah Hendarto, mbah Bromo memang belum perah melihat Irma dan dua anak Hendarto. Setiap ritual dilakukan rumah memang harus dalam keadaan kosong penghuni, kecuali satu orang anggota keluarga yang mendampingi mbah Bromo. Biasanya Hendarto menitipkan istri dan anaknya ke rumah mertuanya.
“Ini kenalkan mbah.. ini Irma istri saya. Mama, kenalkan ini mbah Bromo yang pernah papa ceritakan,” kata Hendarto begitu Irma tiba di ruang tamu. Keduanya langsung berjabatan tangan dan berkenalan.

“Iya mbah.. suami saya harus ke lar kota sekarang, jadi biar ritual pembesihan rumahnya saya yang gantikan untuk membantu mbah. Si mbok dan anak-anak sudah saya bawa ke rumah opa-omanya,” kata Irma.
“Waduh.. sebenarnya bu Irma ndak usah repot ndak apa.. saya bisa selesaikan sendiri. Tapi lebih baguslah kalau bu Irma mau membantu,” kata mbah Bromo.
Mbah Bromo lalu menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Irma, antara lain memegang baskom berisi air bunga tujuh rupa dan selalu berada di samping mbah Bromo saat ritual dilakukan di tiap ruangan, untuk memudahkan mbah Bromo memercikan air ke ruangan karena baskom tidak boleh diletakkan di lantai atau media apapun.

“Maaf mbah, saya potong.. saya harus berangkat sekarang. Mama, papa jalan ya,” kata Hendarto lalu pergi meninggalkan mbah Bromo dan Irma di rumah.
Irma manggut-manggut mendengarkan penjelasan mbah Bromo. Meski pekerjaan itu mudah dan bisa dilakukan pembantu , tetapi karena harus anggota keluarga Irma bersedia melakukannya demi kesuksesan suaminya.
“Ruangan tamu ini sudah saya bersihkan, sekarang kita ke ruang keluarga bu Irma,” mbah Brom
berjalan menuju ruang keluarga, Irma membawa baskom air bunga membuntutinya.
Mbah Bromo meminta Irma duduk di sofa keluarga pada posisi duduk seperti biasanya saat menonton televisi bersama keluarga. Irma mengikuti lalu duduk di pojok kanan dengan kedua tangan tetap memegangi baskom.
Mulut mbah Bromo komat-kamit membaca mantra dengan mata terpejam, lalu kedua tangannya dimasukkan dalam baskom yang dibawa Irma, dan mulai memercikkan air ke ruang itu berkeliling dari sudut ke sudut.
Setelah selesai, ritual kemudian pindah ke kamar tidur utama, kamar tidur Hendarto dan Irma di
lantai dua. Mbah Bromo kembali meminta Irma tidur di ranjang pada posisi seperti biasanya, dan Irma menuruti, berbaring dengan tetap memegang baskom air bunga di atas perutnya.

“Oh.. maaf bu Irma.. saya lupa memberi tahu. Kalau bisa busananya juga harus diganti dengan baju tidur yag biasa dipakai sehari-hari di kamar tidur ini,” kata mbah Bromo.
Irma sedikit terkejut mendengarnya sebab Hendarto tidak pernah bercerita tentang itu. Tapi
akhirnya ia menurut juga. Mbah Bromo keluar ruangan membiarkan Irma bersalin pakaian.
“Sudah mbah.. silahkan diteruskan,” Irma mengenakan daster tipis merah muda yang biasa dipakai saat tidur. Ia merasa agak risih juga ketika mbah Bromo masuk ke kamar, karena kebiasaan setiap tidur Irma tak pernah menggunakan pakaian dalam, CD dan Bra.

Mbah Bromo menangkap kerisihan Irma, apalagi daster tipis membuat putting susu Irma membekas jelas.

“Ndak usah risih bu Irma.. ini demi ritual. Bu Irma memang cantik dan sexy, tapi mbah kan sudah tua, sudah ndak bisa bangun.., jadi ndak mungkin berbuat macam-macam,” kata mbah Bromo tersenyum. Irma kemudian berbaring seperti semula dan mbah Bromo melanjutkan ritualnya.
Kata-kata mbah Bromo membuat Irma lega, sebab sesuatu bisa saja keluar dari rencana bila seorang wanita seperti Irma berada sekamar dengan pria lain yang normal.
Tapi.. apa iya mbah Bromo sudah nggak bisa bangun?. Pertanyaan itu justru berkeliaran di benak
Irma. Ia memandangi sosok mbah Bromo yang masih berdiri merapal mantra-mantra membelakanginya.
Usia mbah Bromo memang sudah tua, rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih sebagian. Tapi fisiknya masih kelihatan sangat bugar. Tingginya sekitar 180 cm, lebih tinggi dari Hendarto. Irma pun hanya sebatas dagunya kalau berdiri berdampingan.

Tubuh mbah Bromo juga nampak kekar dilapisi kulit hitam legam. Saat tangan mbah Bromo membasuh di baskom, Irma bisa melihat jemari-jemarinya yang kekar dengan buku-buku jari yang besar-besar.
Apa iya mbah Bromo sudah impoten, seperti katanya barusan? Lagi-lagi pertanyaan itu mengecamuk di bathin Irma. Diam-diam ia membayangkan bagaimana perkasanya mbah Bromo saat masih muda.

“Bu Irma sudah selesai bu..,” mbah Bromo mencolek bahu Irma yang melamun.
“Oh.. eh.. iya mbah.. sudah ya?,” Irma malu sendiri karena ketahuan sedang melamun.
“Ibu kenapa? Kok sepertinya ada yang dipikirkan?,” tanya mbah Bromo menatap Irma.
“Eh.. nggak mbah. Ah anu.. saya tiba-tiba kepikiran tentang mimpi-mimpi serem yang sering saya alami belakangan ini. Apa bisa mbah mengusirnya?,” Irma sembarang celetuk mengarang cerita untuk menutupi malu. Tapi cerita karangannya justru menjebaknya dalam situasi makin rumit akhirnya.
“Oh itu. Bisa bu.. nanti setelah pembersihan rumah saya akan lihat apa penyebabnya ya.. mungkin ada yang mengganggu ibu,” kata mbah Bromo.
Ritual dilanjutkan ke kamar mandi di dalam kamar tidur utama. Di sini Irma jadi serba salah,
karena ia harus berada pada posisi seperti biasanya. Tapi kegundahan Irma terobati setelah mbah Bromo mengatakan tak harus telanjang, tetapi cukup dengan melilit handuk di tubuhnya. Irma berdiri di bawah shower dengan handuk biru melilit tubuhnya dan kedua tangan memegangi baskom air bunga. Mbah Bromo kemudian mengaktifkan shower sehingga tubuh Irma kuyub tersiram bersama handuk yang dipakainya.

Mbah Bromo mulai memejam mata dan merapal mantra-mantra, kemudian mulai memercik air ke sudut-sudut kamar mandi. Belum lagi usai prosesi di kamar mandi itu, tiba-tiba lilitan handuk di tubuh Irma melonggar karena siraman shower. Irma panik dan berusaha menahan agar handuk tidak melorot, tapi terlambat, ujung handuk kanterjuntai ke bawah membuat hanya bagian kiri tubuh Irma yang tertutup.

Astaga, bagaimana ini, pikir Irma tak karuan. Tubuhnya telanjang bulat di bagian kanan, tepat di
hadapan mbah Bromo. Bagaimana kalau mbah Bromo tidak lagi terpejam? Pasti semua kebugilannya terlihat jelas.

Masih dalam kepanikan Irma, mbah Bromo tiba-tiba mengamit ujung handuk yang luruh, kemudian membantu melilitkan di tubuh Irma.

“Maaf bu Irma.. saya bantu membenarkannya ya,” katanya, sementara Irma tak bisa bersuara. Mbah Bromo kemudian melanjutkan prosesi ritualnya. Irma kembali didera beragam pertanyaan dan perasaan aneh tentang mbah Bromo. Saat membenahi handuk di tubuh Irma, jemari mbah Bromo sempat menyusup dan menyentuh kulit mulus di pangkal payudaranya. Ada desiran aneh menjalari Irma saat kulit kasar mbah Bromo menggesek pangkal payudaranya. Desiran yang selama ini mulai jarang dirasakan bersama Hendarto, suaminya.

“Sekarang prosesi sudah selesai bu. Apa ibu jadi mau menyelesaikan masalah mimpi buruknya?,” suara mbah Bromo mengejutkan Irma.
“Bu Irma bisa pakai daster lagi.. dan saya akan merowah ibu,” kata mbah Bromo sambil keluar kamar mandi ke kamar tidur, sementara Irma kembali mengenakan daster tipisnya.
Mbah Bromo meminta Irma berbaring di ranjang, Irma menurut dengan hati berdebar-debar tak karuan.

----------

Dengan posisi duduk di sisi ranjang, mbah Bromo meletakkan telapak tangan kanannya di dahi Irma sambil merapal mantra. Irma mengamati mbah Bromo yang terpejam berkomat-kamit. Wajah mbah Bromo masih meninggalkan gurat-gurat ketampanan, semakin terkesan jantan dengan tukang rahang yang menonjol.
“Ehm.. apa kira-kira penyebab mimpi-mimpi itu mbah,” Irma beranikan diri bertanya. Mbah Bromo membuka mata dan menatap mata Irma membuat Irma salah tingkah.

“Hmm.. maaf bu Irma. Sepertinya ada yang berusaha mengguna-gunai ibu, dan sudah masuk sebagian merasuk ke aliran darah ibu. Mungkin saingan bisnis pak Hendarto yang sudah kewalahan tak bisa menembus pak Hen kemudian menyasar ibu,” jawab mbah Bromo.

Irma jadi takut. Bukankah soal mimpi buruk itu hanya karangannya? Tapi soal guna-guna, jangan-jangan memang benar sudah merasuk di tubuhnya.

“Apa berbahaya mbah?,” tanya Irma ketakutan.

“Kalau tidak segera dibersihkan bisa bahaya bu. Kalau tidak kuat ibu bisa hilang akal sehat, bisa gila. Tapi untung cepat terdeteksi,” kata mbah Bromo. Mbah Bromo kemudian menjelaskan bahwa untuk mengusir guna-guna dan membersihkan yang sudah terlanjur merasuk ke dalam aliran darah, maka Irma harus menjalani ritual pembersihan seperti ritual pembersihan rumah. Caranya dengan dimandikan air kembang tujuh rupa oleh mbah Bromo.

Mbah Bromo meminta Irma tetap berbaring, sementara ia mengambil baskom air kembang sisa prosesi tadi di kamar mandi. Setelah kembali duduk di sisi ranjang, mbah Bromo mulai merapal mantra dan memercikkan air kembang ke sekujur tubuh Irma, mulai kepala sampai kaki.

“Maaf bu, mungkin sedikit risih.. tapi jangan dirasakan ya, karena perlawanan bisa menggagalkan ritualnya,” kata mbah Bromo. Belum sempat Irma menjawab, telapak tangan mbah Bromo mulai menelusuri tubuh Irma seolah mengolesi dengan air kembang.

Irma tak punya pilihan. Ketakutannya mengalahkan akal sehatnya, dan ia menuruti apa saja perkataan mbah Bromo. Ia merasakan tangan mbah Bromo mengusap-usap lehernya lalu turun ke dada. Usapan berlanjut ke dua payudara Irma membuat Irma merasakan desiran aneh luar biasa. Daster tipis tanpa bra membuat telapak tangan mbah Bromo sangat terasa menyentuh dan mengusapi putting susu Irma. Irma memejamkan mata dan berhayal yang sedang mengelus tubuhnya adalah Hendarto suaminya. Maksud Irma adalah untuk menghilangkan risih yang sedang melanda dirinya. Lagipula, bukankah mbah Bromo impoten? Begitu pikirnya.
Tapi niat Irma justru menyeretnya ke posisi yang lebih sulit. Dengan membayangkan suaminya yang sedang mengusap tubuhnya, libido Irma malah terpacu dan gairah seksnya meninggi. Irma merasakan tangan mbah Bromo mulai menjalar ke kakinya. Sentuhan nikmat mulai dirasakan Irma di bagian pahanya, tanpa disadari tangan mbah Bromo terus menelusup bagian bawah daster, dan mulai mengusapi kulit paha Irma.

“Aahh.. mas Hen..,” Irma mendesis mencoba membendung gairahnya, pikirannya semakin tertuju pada Hendarto yang sedang menjelajahi tubuhnya.

Mbah Bromo menangkap libido Irma yang mulai meningkat, ia kemudian memberanikan diri mengusapi pangkal paha Irma dan sesekali tangannya menyetuh bibir vagina Irma yang tidak terbungkus CD. Irma menggelinjang dan mulai melebarkan kakinya memberikan ruang lebih luas bagi sentuhan mbah Bromo.
Daster bagian bawah sudah tergulung sampai ke perut Irma, paha mulus dan rambut tipis di vagina Irma terpampang jelas di hadapan mbah Bromo. Mbah Bromo ingin sekali mengusapi vagina Irma, bagaimana pun ia lelaki normal dan masih bisa ereksi di usia tuanya. Pengakuan impoten dilakukan mbah Bromo sebenarnya hanya agar kliennya merasa nyaman saat ritual dilakukan. Tapi mbah Bromo tak berani melangkah lebih jauh karena takut dilaporkan ke Hendarto, sebab selama dua tahun ini Hendarto sudah menjamin perekonomian keluarganya bahkan sampai ia mampu mengkuliahkan anaknya.

“Ehmm.. maaf bu Irma..,” suara mbah Bromo menyadarkan Irma.

“Oh.. eh.. iya mbah. Sudah selesaikah?,” Irma terkejut membuka mata, gelagapan bercampur malu menyadari dirinya bugil di bagian bawah, dan segera membenahi letak dasternya. Nafas Irma sedikit berat desiran kenikmatan masih tersisa padanya.

“Belum bu, guna-gunanya cukup kuat dan sudah merasuk jauh ke aliran darah bu Irma,” mbah Bromo kini yang mulai mengarang cerita.
“Daster ini menyulitkan saya melakukan ritual.. karena sebetulnya harus kulit tubuh bu Irma yang langsung dibaluri air kembang,” katanya tanpa menunggu reaksi Irma. Rasa takut gila karena guna-guna ditambah desir kenikmatan yang terlanjur ia rasa akibat sentuhan jemari mbah Bromo membuat Irma sama sekali berada di bawah konrol mbah Bromo. Ia menuruti perkataan mbah Bromo untuk menanggalkan dasternya, dan untuk tidak bercerita pada Hendarto suaminya tentang ritual mereka.

“Silahkan mbah.. dilanjutkan ritualnya. Yang penting saya sembuh mbah,” kata Irma yang sudah kembali berbaring dalam keadaan telanjang.

Mbah Bromo terbelalak tak percaya, betapa tubuh mulus istri Hendarto terpampang telanjang di hadapannya menunggu disentuh dan dijelajahi olehnya.

Dengan sikap serius seolah ritual sesungguhnya, mbah Bromo kembali komat-kamit dan mulai menyentuh Irma. Air kembang dipercikkan lalu tangan mbah Bromo menelusuri payudara Irma, sebentar kemudian ke perut, tetapi kemudian kembali lagi ke payudara.
Irma memejam dan menggelinjang merasakan sentuhan langsung telapak tangan kasar mbah Bromo di kulit mulusnya. Tangan kiri mbah Bromo mulai meremasi payudara Irma bergantian, sebelah kanan dan kiri, sementara tangan kanannya menelusur ke bawah mengusapi paha dan selangkangan Irma.
Nafas Irma semakin berat saat merasakan sentuhan mbah Bromo mulai menjelajahi di bagian vitalnya. Irma ingin melawan dan menolak, tetapi rasa takut akan guna-guna dan kenikmatan yang sedang melanda mengalahkan perasaan risihnya. Ia memutuskan untuk kembali membayangkan bahwa suaminya yang sedang menjelajahi tubuhnya.

Mbah Bromo mengangkangkan kedua kaki Irma membuat vagina Irma semakin jelas terlihat. Perlahan ia memberanikan diri membelai lebih intens permukaan vagina Irma, ia merasakan cairan vagina Irma mulai merembes keluar membuat permukaannya semakin licin berlendir.

“Ahhhsss..,” Irma mendesis tak kuasa menahan kenikmatan sentuhan-sentuhan di tubuhnya. Ia merasakan sesuatu menguak bibir vaginanya dan saat yang sama putting susunya terasa dipilin-pilin, diremas-remas.
Di saat libidonya semakin tak terbendung, Irma merasakan sesuatu yang hangat menyapu-nyapu bibir vaginanya. Benda lunak bertekstur kasar itu mulai menyapu vaginanya secara rutin berirama.

“Ouhh.. ahhss. Mbah, kenapa digituin?,” Irma terperanjat saat menyadari kini kepala mbah Bromo seolah tenggelam diselangkangannya. Rupanya benda hangat yang nikmat menyapu vaginanya adalah lidah mbah Bromo yang menjilatinya.

“Eh.. oh.. maaf bu Irma, ini harus saya lakukan untuk menyedot guna-gunanya. Ini sudah hampir selesai. Tapi kalau ibu keberatan.. saya minta maaf bu Irma,” mbah Bromo nampak khawatir Irma marah dan melaporkannya pada Hendarto. Tapi ternyata Irma tidak marah. Ia malah kembali memejamkan mata dan melebarkan dua kakinya memberi isyarat pada mbah Bromo untuk melanjutkan jilatan-jilatannya.
Benak Irma berhenti membayangkan Hendarto suaminya, sebab selama menikah hingga punya dua anak, sekali pun tak pernah Hendarto menjilati vagina Irma. Padahal dari film-fim porno yang mereka nikmati bersama selama ini, Irma ingin sekali merasakan bagaimana jika vaginanya disentuh dengan lidah, dijilati dan dihisap.

“Ahhk.. mbah..,” Irma mulai terbawa gairahnya. Mbah Bromo, lelaki tua yang baru dikenalnya ternyata tidak jijik menjilati vitalnya, tidak seperti suaminya yang merasa jijik kalau harus menjilati vagina Irma.
Tanpa disadari tangan Irma mulai meraih rambut mbah Bromo di selangkangannya dan berusaha menekan agar jilatan di vaginanya lebih terasa. Kumis dan jenggot mbah Bromo yang kasar menambah rasa geli di vagina Irma. Lidah mbah Bromo semakin leluasa menjelajahi gundukan vagina Irma yang sudah sangat basah berlendir. Rintihan Irma semakin keras dan sering terdengar.
Mbah Bromo turut terpacu libidonya, sambil terus menjilat dan menghisap bibir vagina Irma, tangganya mulai memelorotkan celana kolor hitamnya. Penisnya mengacung tegang kemudian dikocok-kocok dengan tangan kirinya, sambil membayangkan ia sedang menyetubuhi Irma.
Irma mulai merasakan sensasi disekitar vaginanya, seperti ada hawa panas menjalar di pangkal pahanya. Hawa panas itu terus mendesak dan berkumpul dipusat klitorisnya, semakin lama semakin mendesak setiap kali jilatan mbah Bromo menerpa. Kedutan-kedutan mulai ia rasakan di vaginanya. Tangannya semakin meremas kencang rambut mbah Bromo. Sementara pinggulnya tergetar hebat seperti hendak menguyak kepala mbah Bromo di jepitan pahanya.

“Ouhh.. mbaahhhh… akkkssshhh…,” Irma setengah menjarit ketika kumpulan hawa panas itu meledak mencapai orgasmenya. Di saat bersamaan kocokan tangan mbah Bromo membuat penisnya terasa hendak meledak menyeburkan sperma kenikmatan. Tangannya segera menyembar daster Irma yang luruh di ranjang, lalu menghadang semburan spermanya menggunakan daster Irma.
Irma lunglai tak bertenaga, masih terpejam menikmati sisa-sisa orgasmenya. Mbah Bromo duduk di sisi ranjang kembali menyaksikan wajah cantik Irma setelah orgasmenya.

“Sudah tuntas bu Irma.. sudah keluar semuanya,” kata mbah Bromo. Irma tak mampu bicara, ia merasa lemas bercampur malu menyadari lelaki lain sudah melihat tubuhnya. Ia lalu duduk dan mengamit selimut untuk menutupi tubuh bugilnya, bersandar di kepala ranjang.
“Bagaimana rasanya bu Irma?,” tanya mbah Bromo.

“Hmm.. nikmat mbah..,” jawab Irma tanpa sadar.

“Maksud bu Irma?,” mbah Bromo seolah memancing.

“Oh.. eh.. anu.. maksud saya. Maksud saya sudah agak ringan sekarang, mungkin karena guna-gunanya sudah keluar,” kata Irma malu. Tiba-tiba pikiran Irma kembali tertuju pada fisik mbah Bromo. Apa benar si mbah tidak ereksi penisnya saat memperlakukannya seperti tadi.

“Mbah.. maaf ya kalau saya tanya. Apa tadi mbah tidak merasakan gairah seks? Waktu menghisap guna-guna dari tubuh saya tadi?. Apa anu mbah tidak tegang?,” ia beranikan bertanya untuk menjewab penasarannya.

“Kan mbah sudah bilang.. mbah impoten bu Irma. Ibu mau lihat?,” mbah Bromo langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Irma, ia langsung melorotkan celana hitamnya tanpa CD.

Penis mbah Bromo menggelantung keluar, nampak lagi tanpa ketegangan sebab klimaksnya sudah sampai dengan onani tadi. Irma terbelalak memperhatikan bentuk penis mbah Bromo. Dalam kondisi tidur penisnya itu tetap besart, lebih besar dari milik Hendarto. Pikirannya kembali tak karuan, bagaimana besarnya kalau penis hitam mbah Bromo itu tegang?.

“Ndak sebesar punya pak Hen ya bu?,” tanya mbah Bromo.

“Eh.. hmm.. hampir sama kok,” jawab Irma. Ia malu mengakui penis Hendarto tergolong kecil, apalagi dibanding penis mbah Bromo.

Tapi mbah Bromo sudah tahu kalau penis Hendarto ukuran mini. Sebab selama ritual pembersihan rumah sebelumnya, mbah Bromo sudah melihat penis Hendarto ketika pembersihan tanpa busana di kamar mandi. Hendarto bertubuh tambun dengan perut membuncit. Penisnya pun tidak bertahan lama kalau bersetubuh dengan Irma.

“Ya sudahlah bu Irma, mbah pamit pulang ya. Ndak enak kalau pak Hen datang, nanti jadi salah paham melihat kita berdua di kamar ini dalam kondisi begini,” mbah Bromo merapikan celananya dan bersiap keluar kamar. Irma ikut bangkit dengan melilit selimut menutupi tubuhnya.

“Sebentar mbah.. ini ada sesuatu dari saya untuk istri dan anak mbah di rumah,” Irma mengeluarkan beberapa lembar uang dari lemari dan menyisipkannya di kantung baju hitam mbah Bromo. Mbah Bromo tak menolak pemberian itu, anggap saja rejeki tambahan.

“Hmmm mbah.. satu pertanyaan lagi boleh ya? Apa mbah sudah tidak pernah bersetubuh sama istri?,” kata Irma.

“Oh ndak apa kalau ibu ingin tahu. Sebenarnya ya masih bu kadang-kadang. Tapi anu mbah baru bisa berdiri di saat-saat tertentu tanpa mbah tahu. Ya sudah mbah pamit permisi bu,” jawab mbah Bromo lalu pergi meninggalkan rumah Hendarto.

----------

Sore itu Hendarto harus berangkat ke Malaysia untuk mengurusi jaringan bisnis hotelnya. Irma berada di rumah bersama Warti (28) pembantunya, sedangkan anak-anaknya sudah dua hari ini menginap di rumah opa-omanya karena liburan sekolah. Sudah sebulan ini sejak ritual nikmat dari mbah Bromo, Irma selalu rindu dan ingin mendapatkannya lagi. Selama ini Irma mencari cara untuk bisa mengundang mbah Bromo, tapi sulit karena biasanya yang berurusan dengan hal-hal klenik adalah Hendarto suaminya.

Saat malam menjelang, pikiran Irma semakin merindukan kehadiran mbah Bromo. Setelah berusaha berpikir, Irma akhirnya menemukan cara.

“Halo.. dengan mbah Bromo?,” kata Irma menelpon mbah Bromo.

“Iya benar. Maaf dengan siapa ya?, apa ada yang bisa dibantu?,” jawab mbah Bromo di seberang sana.

“Mbah.. ini Irma istrinya pak Hendarto. Saya mau minta tolong mbah, kamar pembantu kami kan belum pernah dibersihkan sama sekali.. apa bisa dibantu, sebab saya takut ada yang usil mengguna-gunai keluarga kami lewat kamar itu,” kata Irma.

“Oh.. bisa bu Irma, kebetulan mbah juga sedang tidak ada klien. Mbah akan ke sana sekarang,” jawab mbah Bromo.

Irma senang bukan main. Ia kemudian mandi sebersih mungkin dan mengenakan gaun paling seksi yang dia punya untuk mengundang perhatian mbah Bromo nanti.

“Wah memang benar kamar ini kurang aman. Oh ya, mana pembantu ibu yang biasa menempati kamar ini?,” tanya mbah Bromo. Malam itu mbah bromo mengenakan celana kolor hitam dan kaos ketat warna hitam. Tubuh atletisnya tercetak jelas membuat Irma terpesona. Irma segera memanggil Warti yang sedang masak di dapur. Mbah Bromo kemudian menjelaskan cara ritualnya. Sama seperti pembersihan rumah, ritual harus dilakukan dengan Warti yang selama ini menempati kamar tersebut.

“Hmmm.. apa nggak bisa saya gantikan mbah? Warti kan masih sibuk masak..,” Irma seperti keberatan jika ritual di kamar itu dilakukan mbah Bromo bersama Warti. Entah mengapa ia malah jadi cemburu. Mbah Bromo menjelaskan bahwa ritual tidak boleh digantikan, kecuali kalau Warti punya suami yang biasa menempati kamar itu bersama. Warti adalah janda beranak satu, dicerai suaminya yang kawin lagi, sebelum menjadi pembantu di rumah Hendarto. Tentu saja tak punya suami. Irma masih keberatan, tetapi tak punya alasan lagi untuk bisa menggantikan Warti. Ia pun menyilahkan mbah Bromo memulai ritualnya.
“Oke.. kalau gitu biar saya yang masak. Warti kamu temani mbah Bromo membersihkan kamarmu ya,” Irma meninggalkan mereka berdua di kamar pembantu. Tapi Irma tidak ke dapur untuk masak, melainkan masuk ke kamar tidur khusus tamu keluarga. Kamar itu dindingnya saling membelakangi bertemu dengan dinding kamar pembantu. Irma meraih pigura lukisan di dinding. Ternyata dibalik lukisan itu ada semacam jendela rahasia yang bisa melihat kamar pembantu, sedangkan tepat di posisi yang sama tergantung cermin satu arah di kamar pembantu, sehingga siapapun tak menyadari sedang diintip bila sedang berada di kamar pembantu. Jendela khusus itu sengaja dibikin Hendarto untuk menyelidiki tingkah laku pembantu mereka, terutama bila ada pembantu baru.

Irma melihat mbah Bromo sedang menjelaskan sesuatu pada Warti, sambil menyiapkan baskom air kembang tujuh rupa. Tapi Irma tak bisa mendengar pembicaraan itu, karena dinding yang tebal. Warti mengenakan daster berbaring diranjang dengan mata terpejam, dan mbah Bromo mulai memercikkan air kembang ke sudut ruangan.

“Warti apa mau mbah rowah sekalian biar cepat dapet suami lagi?,” tanya mbah Bromo sambil memercikan air ke kamar. Mbah Bromo tahu kalau warti ini seorang janda.

“Hmm.. mau sekali mbah. Warti udah nggak tahan juga nih pingin cepet kawin lagi. Soalnya enak sih,” kata Warti genit. Menjanda selama empat tahun sudah membuat gairah Warti tak terkendali. Apalagi berada sekamar dengan lelaki bertubuh atletis seperti mbah Bromo.

“Kalau mbah kasih rowah yang enak juga gimana? Mau nggak? Tapi jangan sampai majikanmu tahu ya.. nanti mbah dipecat, nggak dipake lagi sebagai paranormalnya,” mbah Bromo merasa yakin bisa menikmati tubuh montok Warti.

“Ah.. mbah ini, Warti jadi malu. Tapi kalo rowahnya memang nikmat dan Warti cepat punya suami lagi, ya Warti sih nggak nolak. Mau mbah.., Warti nggak akan ngomong ke nyonya dan tuan kok,” kata Warti. Dari kamar sebelah, Irma menyaksikan mbah Bromo duduk di tepi ranjang Warti sementara Warti tetap berbaring. Tubuh warti tak setinggi Irma, badannya pun sedikit lebih gemuk. Tapi proporsi tubuhnya nampak montok menggairahkan untuk ukuran pembantu wajah Warti pun tak bisa dibilang jelek, kulitnya pun kuning langsat meski tak semulus Irma.

Irma terperanjat melihat tangan mbah Bromo langsung menelusup darter Warti di bagian bawah, lalu kepalanya merunduk dan Warti menyambut. Mereka saling berpagutan bibir, sementara tangan mbah Bromo menjelajah meremasi payudara Warti.

Ritual macam apa ini? Pikir Irma. Tapi Irma tak bergeming dan tetap menyaksikan adegan dua insan di kamar pembantu itu.
“Ahh mbahhh.. geli sekalihh..,” Warti mendesis. Kini dua payudaranya sudah lepas keluar dari BH dan kancing daster. Mbah Bromo meremas dan mengisapi putting susunya.

“Hmmmpphh.. gimana Warti? Nikmat kan rowahnya?.. mbah terusin ya biar tambah enak,” kata mbah Bromo sambil tangannya melucuti CD Warti. Warti pasrah, vagina laparnya sudah basah sejak tadi, ingin dipenuhi dengan sesuatu yang tegang.

Irma melihat mbah Bromo berdiri dan menanggalkan kaos ketat dan celananya, ia pun bugil. Astaga, penis mbah Bromo berdiri tegang mengacung keatas. Ukurannya dua kali lipat dari yang sempat dilihat Irma, karena saat ini sudah tegang. Penis mbak Bromo hitam legam dan sangat panjang, bisa tiga kali lipat dari milik Hendarto.

Tiba-tiba Warti bangkit dari ranjang, masih menggunakan daster tapi susunya sudah keluar kemana-mana, dan CD sudah luruh. Tangan Warti seolah menarik mbah Bromo untuk berbaring di ranjang, mbah Bromo menurut. Warti kemudian ikut naik ke ranjang mengatur posisi 69 dengan mbah Bromo. Mbah Bromo di bawah menghadap keatas sedangkan Warti dari atas dengan tubuh bagian bawahnya mengarah ke wajah Mbah Bromo. Ia terlihat menungging meraih penis besar mbah Bromo dan langsung menghisapnya. Mbah Bromo membelai bongkahan patat Warti dan menyisihkan ujung daster yang dipakainya.

Sialan, pikir Irma. Rupanya Warti mempraktekkan posisi 69 yang seringkali ditontonnya bersama setiap kali Hendarto tak di rumah.

“Uihh.. gede banget tongkolnya mbah.. tua-tua keladi nih. Sampai susah Warti genggam.. hmmpffhh.. ,” Warti terus berusaha memasukkan utuh penis mbah Bromo ke mulutnya, tetapi mulutnya kepenuhan dibuatnya. Ia benar-benar janda binal yang sedang menemukan pemuasnya.

“Waduh Warti.. pepekmu juga bagus sekali hmmm.. pasti sempit rasanya,” mbah Bromo mulai membelai vagina Warti yang mulai basah, kemudian mengangkat wajahnya agar bisa menjilati vagina itu dari bawah. Sasaran utama adalah klitoris Warti yang mulai mengeras.

“Uihhhkkkss… mbah… ahhhkkss,” Warti melepas hisapannya di penis mbah Bromo. Kepalanya menengadah menahan kenikmatan jilatan mbah Bromo di klitorisnya. Irma tertegun menyaksikan adegan ranjang mbah Bromo dan Warti dari kamar sebelah. Libidonya ikut terpacu dan ingin sekali menggantikan posisi Warti. Tiba-tiba pesawat telepon di ruang keluarga berdering. Irma barlai kecil untuk mengangkatnya karena Warti pembantunya tentu tak bisa menerima telepon lantaran sedang menjaani ritual nikmat bersama mbah Bromo.

Hendarto suami Irma menelepon memberi kabar kalau ia akan berada di Malaysia selama tiga hari. Keduanya pun terlibat obrolan tentang apa saja yang diinginkan Irma sebagai oleh-oleh dari Malaysia nanti.

Setelah pembicaraan telepon dengan suaminya selesai, Irma kembali ke kamar tidur khusus tamu untuk menyaksikan adegan layak sensor di kamar pembantunya.